OriFict

[Orifict] Anomali

Anomali

“Kau akan menemukan hal janggal di sini, jangan kaget! Karena ini anomali.”

Menurut pandanganku, setidaknya ada dua hal rumit di dunia: Pertama, kepada mereka yang berumah tangga, yang telah berjanji dengan Tuhannya namun akhirnya bercerai. Dan dua, mengenai perubahan drastis perilaku sensitif perempuan ketika berpacaran. Masih dalam satu benang merah tapi beda masa ternyata.

Kalau saja aku mengemukakan ini satu setengah bulan lalu, mungkin aku akan menambahkan materi matematika tentang integral  ke posisi tiga, hanya saja dalam rentang waktu tersebut aku sudah menuntaskannya dengan berhasil mendapat nilai E, jadi ya sayang sekali topik integral telah terjawab oleh tinta merah pekat di pojok kanan atas lembar jawaban.

Aku mengerti, mungkin uraian di tempat pertama masih terlalu buram untuk-setidaknya-aku pikir karena mentalku belum menginjak dunia sana, berbeda jauh dengan dengan urutan terakhir, dimana merupakan suatu penderitaan tersendiri bagi para korbannya-kaum lelaki seringnya-, sebuah materi diskusi yang tak pernah terjawab tanpa mengundang pertanyaan lain hingga tak sedikit timbul keinginan untuk mengeluarkan isi kepala para gadis dan menelitinya guna membayar rasa penasaran kami. Terdengar sangat menyeramkan memang, tapi percayalah hanya ini satu-satunya cara paling halus yang bisa dilakukan atas segala keresahan yang muncul akibat sikap dari panas menjadi ganas pacar kami masing-masing.

“Mengapa perempuan bisa lebih menakutkan dari singa berambut rontok?”

“Apakah sekarang zamannya bukan dijajah oleh kompeni melainkan ditindas kaum hawa?”

“Kekuatan apa yang mereka punya hingga membuat kami begitu lemah?”

“Bagaimana bisa hembusan napas mereka ketika sedang kesal lebih panas dari hawa neraka?”

Sekelumit pertanyaan itu selalu menggantung di akalku kala dia sedang kalap, dia meringis frustasi bagai korban tak mendapat keadilan sedangkan nyatanya aku yang tersiksa baik mental dan fisik.

Tidak, aku tak segila itu memilih perempuan aneh sebagai pacarku. Dia normal, sungguh. Dia berbeda dari kebanyakan jenisnya, sikapnya kadang membuatku malu karena ia begitu anggun, lontaran kalimat membentuk sebuah opini akan suatu hal selalu tak gagal menggetarkan hatiku, sepasang bola mata nan bersihnya sukses menciptakan gelenyar-gelenyar di tubuh. Dia begitu istimewa, sungguh. Hanya saja, aku terlambat menyadari bahwa semua itu cuma topeng yang dipakainya dengan baik dan rapi.

Oh, ayolah! Bukankah kamu, kalian, dia, bahkan aku akan mencoba menyembunyikan jati diri sebenarnya, memperbaiki jiwa hanya untuk menarik hati si pujaan, begitu, kan? Aku tak akan mencap dia sebagai sosok munafik yang busuk, tidak, hal itu adalah lumrah, akan tetapi memikirkan kembali bagaimana lihainya dia memakai topeng elok dan mulus itu kini membuat bulu kudukku merinding.

***

“Kau….”

Masa ini juga aku dipermainkan oleh pancaran mata jengah juga tak suka yang dilayangkan dia seakan menegaskan bahwa sia-sia saja aku berpakaian rapi dan harum kalau waktu api membara di matanya muncul, aku hanyalah orang tak waras dan bertelanjang.

“Kau selalu saja terlambat, Ed.” Gadis ini memang seenak jidat bila memanggil nama orang, katanya sih nama kesayangan, sebab dimulai kami mengawali pendekatan dia sudah meminta untuk memanggilku dengan nama Ed, sedangkan Parama Aiden Nagendra adalah nama asliku. Mungkin dulu aku menerima itu dengan senang hati, tapi sekarang? Malah muak aku dibuatnya dan juga tatapan itu, salah apa lagi aku sekarang?

“Maafkan aku.”

Bagaimana kau membaca itu? Bagaimana kau menggambarkan diriku kala mengucap kalimat itu? Sangat tenang, begitu? Atau…, dengan suara pelan bagai napas sudah di ujung tenggorokan? Aku sendiri ingin memakai opsi pertama, tapi yah, aku malah terbata mengucapkan pembelaan itu.

Sial memang, bahwa aku pernah jatuh cinta padanya, tapi sampai dimana dia berhasil menguasai gerak-gerik tubuhku hingga membuat diriku seperti tikus bertemu mangsanya, semua rasa indah tergantikan oleh kebencian yang amat. Hanya sampai saat itu, waktu yang aku pun lupa kapan detailnya terjadi.

“Bukankah aku memberi tahumu bahwa aku akan bilang sesuatu yang penting?”

“Sesuatu yang penting?”

Ah, kau tak membacanya berarti.”

Maksud dia membaca di sini adalah pesan teks yang dikirimnya ke telepon genggamku. Oke, kuakui hal ini memang salahku, lupa membaca pesan darinya. Wajar ‘kan aku berlaku macam itu? Bukankah lupa memang sifat alami manusia? Lagipula sehabis membersihkan diri di tempat futsal tadi aku berusaha semaksimal mungkin menuju ke sini, setelah sebelumnya melihat dua puluh panggilan tak terjawab di notifikasi telepon tentunya.

“Aku….”

Sikapnya ini membuatku penasaran dengan dia terutama akan kondisi kesehatan lidahnya, mengapa mulutnya suka sekali memotong-motong kalimat, sih? Baru saja kedua bola mata itu menatapku tajam dan kali ini bukan hanya indra penglihatannya, tetapi alis, bulu mata, kemudian hidung hingga dagu cantik itu luput dari pandanganku. Sekarang malah rambut hitam legamnya jatuh di tatapanku. Dia menunduk, sangat dalam.

“Ayolah, kau mau bilang apa padaku, hm? Semuanya baik-baik saja, ‘kan?” Dia menggeleng pelan, keningku mengerut hingga bisa menyatukan kedua alis. Ada yang tak beres. Diamnya dia memaksaku untuk menjalankan otak lebih berat, aku berpikir keras. Meneliti semua yang berpotensi membuat dia menundukkan kepala dan berkata semuanya tak baik-baik saja melalui bahasa tubuh miliknya.

“Aku lelah sekali, kau tahu?” ujarnya berikut nada serak menemani.

Aku memilih diam dan membiarkan pertanyaanya berubah menjadi retorika. Masih tetap tak paham dengan maksud dari kalimat yang keluar dari bibir tipisnya. Dia merasa lelah karena apa? Biarkan aku memaparkan pengamatanku sejenak. Seringnya, dia menggerutu tentang tugas sekolah yang terus-terusan menumpuk hingga membuat dirinya penat, padahal kalau tidak ingin dikerjakan ya tinggal jangan, tetapi dia malah menyiksa tubuhnya sendiri atas nama tanggung jawab sebagai pelajar, hanya sayangnya sekarang tengah libur panjang, jadi alasan ini tak mungkin. Hm, apa lagi ya yang membuat dia lelah? Keluarga? Aku pikir tidak, dia dibesarkan dari keluarga baik dan rukun. Teman? Tidak mungkin, aku bahkan iri dengan dia akan jumlah teman miliknya yang tak bakal habis dihitung oleh kedua jari tangan.

“Kau lelah kenapa? Coba kau bicara dengan jelas.”

“Kau tetap saja tak mengerti!” tegasnya hampir menjerit frustasi.

Maafkan aku dan kaumku selalu tak lekas tanggap akan kemauan lawan jenis kami. Tapi ayo berpikir logis! Bukankah kamu yang mendengarkan dia juga tak akan paham? Mencegah kemungkinan emosiku naik ke ubun-ubun dan meledak, aku menghela napas. Membuang udara panas menyelimuti dada, mengapa keras kepala sekali, sih? Jelas-jelas aku memintanya membuat semua lebih jelas, dia malah mulai kalap lagi.

“Iya, Anne. Aku tak akan mengerti sampai kau mau menjelaskannya.”

Bukannya mempersiapkan diri untuk membuka mulutnya menerangkan sesuatu yang membuatnya lelah, perempuan ini memilih menutup wajah dengan kedua lengan disusul erangan kecewa terdengar menakutkan di indra pendengaran.

“Oke, maafkan aku kalau aku ada salah.”

Aku mengambil inisiatif membujuknya, penasaran sekali rasanya diri ini menunggu dia mengucapkan sepatah atau dua patah kata mengenai sikap labilnya ini. Kedua tangannya diturunkan, walaupun wajahnya tetap menunduk tapi untungnya ucapanku berhasil membuat dia bergerak bukan? Kalau begitu, aku akan membujuknya lagi.

“Bisakah kau tidak menakuti aku sekarang, hm? Kau jelek ketika sedang seperti ini, kau tahu ‘kan? Aku pasti melakukan kesalahan besar ya sampai kau membenciku, iya kan? Kau tahu, aku—.”

“Aku ingin kita putus!”

Kemudian senyap. Kami berdua mengunci bibir, membiarkan kelengangan tumbuh menyelimuti atmosfer sekitar, tak peduli perkembangannya akan membuahkan suatu rasa mencekam.

Inikah akhirnya?

Puncak dari hal rumit di hidupku?

Hadiah atas segala usaha yang telah kulakukan?

Taman indah penuh warna itu perlahan mengabur, tetapi tak menghilangkan rupanya barang sedikitpun. Sunyi masih setia tinggal di antara aku dan dia, bagaikan menyengaja menghentikan waktu membiarkan alam menenangkan aku, mengosongkan masa sekejap sebelum menghidupkan sesuatu sebagai pertanda jawaban atas pertanyaanku.

“K—Kau….”

“Maafkan aku, tapi menurutku ini adalah keputusan yang paling baik. Lebih baik kita putus.” Memang pelan perkataan Anne, namun semuanya masuk ke telinga sangat jelas. Aku yakin, entah harus setinggi berapa dia memupuk keberaniannya untuk mengangkat kepala dan mensejajarkan wajahnya dengan muka milikku hingga kedua matanya menatap irisku mantap.

Sungguh, aku harus memperlihatkan tatapan sendu padanya, meyakinkan bahwa kesedihan melanda di jiwa dan sudah sampai pada kedua indra penglihatan, padahal ingin sekali aku cepat-cepat mengeluarkan mata berbinar, tanda takjub sehabis Anne mendeklarasikan kalimat yang telah lama ingin kudengar dialunkan olehnya. Ujaran perpisahan.

Tanpa sadar, kedua ujung bibir tertarik ke atas. Tak membiarkan hal itu menjadi suatu yang keterlaluan, aku harus menahannya dan tertangkap bagai senyum miris. Dia tak tahu betapa tak karuannya diriku menenangkan gerak bibirku ini, menjaga agar luapan kebahagiaan tak membuncah pada tempat yang salah.

Tubuhku layu, jangan lupakan bahu juga melemas, bisa saja ditafsirkannya sebagai perasaan kecewa yang dahsyat, tapi salah, aku lunglai disebabkan oleh hormon serotonin dikeluarkan raga tak pandang keadaan.

Selepas sukses mengontrol berbagai reaksi bahagia terus-menerus meledak di tubuh, mulutku terbuka menghasilkan helaan napas keluar dari sana. Terdengar hela napas kecewa memang, hanya saja niatku bukan untuk itu, cuma buat mengalirkan sebuah rasa lega tiada tara.

“Dan juga ini,” ujar Anne membuatku mengalihkan fokus pada kedua lengan kecil itu yang kini penuh oleh sekotak besar yang aku percaya isinya adalah barang pemberiaku dulu. Bibirku kelu, tak ingin berbicara lagi. Takut nada gembira menemani tiap suara keluar dari mulutku.

“Sekali lagi, aku minta maaf, Aiden. Aku bahkan tak bisa menjelaskan alasanku mengakhiri hubungan kita. Aku harap kau memiliki hidup bahagia dan menemukan seseorang yang lebih pantas daripada aku.”

Aku memanjatkan doa agar harapan basa-basi itu didengar oleh Tuhan. Bahkan ketika kalimat tersebut masih berkumpul di otak supaya tersusun rapi, Dia sudah mengabulkannya. Hidup bahagia, oh…, astaga kiranya kebahagiaanku paling besar adalah saat ini, sama seperti senangnya seekor burung dilepas dari sangkar. Bergerak liar menjemput sesuatu bernama kebebasan.

Aku mengangguk, berkata iya dalam setiap kalimat Anne. Mati-matian bersikap tenang, tak dapat dipungkiri harusnya setelah berkata macam itu, dia pasti pergi. Dan aku benar-benar hanya butuh beberapa menit lagi untuk dapat bernapas tanpa merasa tali tak kasat mata membelit dada.

“Kalau begitu, aku pergi.”

Aku benar, kan? Dia mulai menggerakkan tungkai kaki, mengambil langkah hati-hati bersiap membelakangi, jangan berharap apa-apa padaku mengenai ucapan dan sikap yang akan kulakukan sebentar lagi. Ini memang harus, salam perpisahan.

“Tunggu, Anne!”

Menggapai lengannya, membuat tubuh lenjang itu sedikit terhuyung dramatis sehabis menghentikan aksi perginya. Untunglah, suaraku sangat keren kala melayangkan perintah pada mantan kekasihku. Walau bila ditengok sekilas bola indah miliknya diselubungi kesedihan namun keterkejutan dan tanya terselip di sana. Aku pikir ini saatnya.

“Salam perpisahan, untukmu.”

Tanganku merangkul tubuh sedikit kaku milik Anne, membuat jarak itu menipis seiring bergeraknya waktu hingga tak ada sekat di antara kami. Aku memeluknya, dengan lembut. Tak lama ia pun membalas dekapanku.

Selain memberi salam perpisahan padanya, pelukan ini dilakukan untuk memastikan tak lagi terjadi degupan bergerak abnormal di dada, pun bahwa ketika kulit kami bersentuhan aku tidak di keadaan mimpi, lalu sadar sepenuhnya bahwa kebahagiaan yang dirindukan akan segera menyapa.

Dia pergi. Meninggalkan diriku bagai dibelai angin sepoi kebebasan, sinar keemasan matahari disorotkan padaku bersamaan uap kebahagiaan diterima dengan dada lapang, kepalaku rasanya ingin pecah saja menerima kenikmatan bertubi-tubi ini hingga terlintas di benak membagi kesenangannya bersama rekan-rekanku di futsal. Sungguh sangat menyenangkan.

Selamat berduka cita untukmu, kaum Hawa yang akan menangis sendirian.

Selamat bersuka cita untukku, kaum Adam yang terlepas dari kekangan.

Selamat untukMu, Tuhan, yang masih setia menggantungkan pertanyaan ini di pikiran.

Dan untuk terakhir kali, selamat tinggal Jéanne.

SELESAI

Selasa, 03/01/2017 0:09:20  

SEPTIA08880

Tinggalkan komentar